Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Aspek Dasar Hukum Transaksi e-Commerce di Indonesia dan Dunia

Aspek Dasar Hukum pada Transaksi e-Commerce di Indonesia dan Dunia - Internet menghilangkan batas tempat dan waktu, dua asas yang cukup esensial di bidang hukum. Dimanakah batas teritori dari cyberlaw? Untuk siapakah cyberlaw dibuat? Biasanya hukum menyangkut citizen dari yuridiksi hukum tersebut. Cyberlaw biasanya terkait dengan Netizen. Untuk Indonesia, siapakah netizen Indonesia? Terhubungnya sebuah sistem informasi dengan Internet membuka peluang adanya kejahatan melalui jaringan komputer. Hal ini menimbulkan tantangan bagi penegak hukum. Hukum dari sebagian besar negara di dunia belum menjangkau daerah cyberspace.

Saat ini hampir semua negara di dunia berlomba-lomba untuk menyiapkan landasan hukum bagi Internet. Tentunya banyak hal yang dapat dibahas, akan tetapi dalam buku ini hanya dibahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah keamanan (security), masalah lain seperti pajak (hal-hal yang berhubungan dengan perbankan dan bisnis), trademark, HaKI (Intellectual Property Rights atau IPR), dan yang tidak langsung terkait dengan masalah keamanan tidak dibahas di dalam buku ini. Dalam aplikasi e-commerce, misalnya, ada masalah yang berkaitan dengan hukum yaitu masalah privacy dan penggunaan teknologi kriptografi (seperti penggunaan enkripsi).

Setiap negara memiliki hukum yang berlainan. Misalnya negara Amerika Serikat melarang ekspor teknologi enkripsi. Demikian pula pengamanan data-data yang berhubungan dengan bidang kesehatan sangat diperhatikan. Selain itu sistem perbankan setiap negara memiliki hukum yang berlainan. Hal-hal inilah yang menyulitkan commerce yang melewati batas fisik negara. Penegakan hukum (law enforcement) merupakan masalah tersendiri. Ambil contoh seseorang yang tertangkap basah melakukan cracking yang mengakibatkan kerugian finansial. Hukuman apa yang dapat diberikan? Sebagai contoh, di Cina terjadi hukuman mati atas dua orang crackers yang tertangkap mencuri uang sebesar US$31.400 dari sebuah bank di Cina bagian Timur

Selain permasalahan keamanan, aspek hukum merupakan salah satu isu yang paling hangat dibicarakan dalam konteks implementasi sistem e-commerce. Sebelum melakukan analisa terhadap aspek-aspek hukum yang lebih detail, ada baiknya dikaji terlebih dahulu isu-isu utama yang timbul sebagai dampak inovasi teknologi ini. Secara konsep, perdagangan (transaksi) melalui elektronik kurang lebih serupa dengan perdagangan tradisional pada umumnya yang menggunakan kertas sebagai medium transaksi (paper based transaction).

Aspek Dasar Hukum Transaksi e-Commerce di Indonesia & Dunia_
image source: retail-loyalty.org
baca juga: Memahami Aplikasi Search Engine Serta Contoh Permasalahannya

Dalam kedua jenis transaksi tersebut penjual sama-sama menawarkan produk atau jasanya, beserta harga dan kondisi tertentu kepada calon pembeli yang bebas tanpa paksaan melakukan pemilihan, menegosiasikan harga, dan melakukan perjanjian khusus tertentu (misalnya pelayanan purna jual dan garansi). Setelah kesepakatan terjadi, transaksi dilakukan dengan melibatkan beberapa dokumen dan produk yang dipesan akan diberikan secara langsung atau dikirimkan ke tempat pembeli sesuai dengan kesepakatan. Perbedaan mekanisme transaksi terjadi pada saat dilibatkannya teknologi informasi yang menyebabkan dapat dilakukannya proses jual beli tersebut kapan saja, dimana saja, dan dengan cara yang sangat beragam dan bervariasi (fleksibel). Karakteristik dari sistem ecommerce ini mendatangkan tantangan tersendiri pada aspek regulasi yang secara legal harus segera dicari jalan pemecahannya, misalnya:

  • Bagaimana mengadaptasi mekanisme transaksi formal yang secara hukum dilindungi dengan syarat adanya tanda tangan dari salah satu atau dua belah pihak yang melakukan transaksi, dimana hal ini jelas sulit dilakukan jika pembeli dan penjual berada di tempat yang secara geografis sangat berjauhan;
  • Bagaimana merepresentasikan dokumen-dokumen legal di dalam internet yang pada dasarnya merupakan file-file komputer yang mudah digandakan dan disebarluaskan tanpa seijin yang memiliki;
  • Bagaimana menggantikan fungsi saksi yang terkadang dibutuhkan dalam sebuah proses transaksi jual beli, terutama yang melibatkan nilai perdagangan cukup besar;
  • Bagaimana memastikan bahwa yang bersangkutan adalah benar-benar orang yang diatasnamakan dalam dokumen-dokumen legal terkait (autentifikasi);
  • Bagaimana menentukan tanggal-tanggal yang terkait dalam proses jual-beli mengingat adanya selisih waktu antara satu negara dengan negara yang berlainan; dan lain sebagainya. Tentu saja masih banyak lagi hal-hal yang harus mulai didefinisikan dan dipikirkan ulang agar proses pembuatan perangkat hukum dapat benar-benar menjadi sarana yang tidak hanya menguntungkan kedua belah pihak yang melakukan perdagangan, tetapi lebih jauh lagi dapat membuat lingkungan perdagangan di internet menjadi lebih kondusif sehingga membuat pasar menjadi lebih efisien. Keliru mengintepretasikan keadaan akan berakibat terkonsepnya sebuah aturan hukum yang justru akan mematikan dunia e-commerce.

Perjanjian Jual-Beli

Pada dasarnya, hal pokok yang dilakukan dalam e-commerce adalah transaksi perjanjian jual beli antara dua pihak (panjual dan pembeli) yang dilakukan tanpa adanya unsur paksaan, dan dinyatakan secara sah oleh hukum yang berhubungan dengannya. Dengan kata lain, aspek hukum yang harus diperhatikan sungguh-sungguh adalah masalah kontrak, saksi, dan mekanisme perdagangan yang dilakukan (Ford, 1997). Menyangkut hal tersebut di atas, ada dua prinsip utama yang harus diperhatikan, yaitu asas persamaan fungsi (functional equivalence) dan sumber hukum (source of law).

Yang dimaksud dengan asas persamaan fungsi di sini adalah bahwa mengingat prinsip prinsip perdagangan yang terjadi di dunia maya kurang lebih sama dengan yang terjadi di dunia nyata, maka semestinya tersedia perangkat hukum yang dapat mengantisipasi seluruh keperluan perdagangan di internet seperti halnya yang secara efektif telah dilakukan pada jenis perdagangan konvensional. Yang menjadi masalah di sini adalah lambatnya pihak-pihak terkait dalam menyusun perangkat hukum yang dapat mengantisipasi perubahan dan inovasi teknologi yang sedemikian cepat, sehingga terkadang adanya jenis atau model transaksi jual-beli yang belum tersedia aturan hukumnya.

Mengingat bahwa trend ini akan terus berlanjut, maka ada baiknya diperhatikan strategi yang sesuai diterapkan dalam menyusun regulasi terkait dengan kebutuhan tersebut. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah menanggapi semakin sedikitnya transaksi-transaksi di internet yang secara fisik melibatkan kertas (dokumen) dan menghadirkan orang-orang yang secara langsung mengadakan kontrak jual beli. Tentu saja walaupun prinsip perdagangannya sama, aturan hukumnya harus berbeda karena adanya “inovasi” mekanisme jual beli yang diimplementasikan.

Sumber hukum merupakan permasalahan lain yang harus diperdebatkan, karena dunia maya tidak memiliki batasan geografis (misalnya negara) yang selama ini dikenal dalam sistem hukum konvensional. Jika terjadi pelanggaran hukum, sangat sulit menentukan hukum negara mana yang akan dipergunakan mengingat secara mekanisme, pihak-pihak dan sarana/fasilitas perdagangan dapat dalam suatu saat berada di sejumlah negara yang berbeda; kecuali jika sebelumnya, pihak-pihak yang mengadakan transaksi telah menyetujui untuk mempergunakan sistem hukum negara mana seandainya terjadi pelanggaran terhadap kontrak. Contohnya adalah di Amerika, paling tidak ada dua sumber hukum yang biasa dijadikan pegangan dalam melakukan transaksi jual beli di internet, yaitu Uniform Commercial Code (UCC) dan United Nations Model Law on Electronic Commerce.

Berbagai isu-isu yang mungkin terjadi di dalam mekanisme perdagangan e-commerce telah disentuh dalam kedua peraturan tersebut sehingga dapa  dijadikan sebagai pedoman bagi para praktisi bisnis atau konsumen yang terlibat secara langsung dalam proses perdagangan melalui internet. Negara-negara lain pun seperti Uni Eropa, Jepang, Singapura, dan Malaysia telah pula menyusun perangkat hukumnya masing-masing, baik yang berlaku untuk sistem e-commerce lokal, maupun yang
melibatkan mitra atau konsumen dari luar negara terkait.

Sebuah perjanjian antara beberapa pihak dikatakan valid atau sah jika memenuhi persyaratan hukum yang berlaku. Ada tiga prinsip utama yang harus dipenuhi, yaitu adanya unsur-unsur: penawaran, persetujuan, dan persyaratan (offer, acceptance, and consideration), disamping beberapa hal pokok lain yang secara tidak langsung mempengaruhi aspek validitas yang terjadi.

Penawaran dan Persetujuan

Dalam proses penawaran oleh penjual dan persetujuan oleh pembeli, ada dua hal yang harus dipenuhi secara hukum, yaitu adanya: mutual assent dan definite terms. Yang dimaksud dengan mutual assent di sini adalah kesepakatan bersama antara kedua belah pihak (pembeli dan penjual) untuk bersama-sama melakukan proses jual beli. Biasanyayang lebih awal dilakukan adalah proses penawaran oleh penjualan, terhadap produk atau jasa yang diciptakannya, kepada calon konsumen sebagai pembeli. Cara melakukan penawaran bermacam-macam, dan yang ditawarkan pun beragam, termasuk hal-hal yang akan diperoleh seandainya produk atau jasa tersebut dibeli oleh konsumen (termasuk garansi, pelayanan purna jual, pengembalian produk, dsb.). Agar pembeli dan penjual dapat melakukan mekanisme transaksi dengan baik, tentu saja diperlukan suatu termintermin atau persyaratan yang jelas (definite terms) agar kedua belah pihak benar-benar mengerti akan hak dan kewajibannya masing-masing, sehingga selain proses transaksi dapat berjalan dengan baik, kedua belah pihak akan terlindungi dari hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari (setelah proses jual beli selesai dilaksanakan). Hal yang harus diperhatikan di sini adalah bahwa proses interaksi penawaran dan persetujuan di internet dilakukan melalui sebuah situs, tanpa disertai oleh beberapa orang yang saling bertatap muka dan dokumen-dokumen dalam format kertas. Perancangan situs harus dibuat sedemikian rupa sehingga mekanismenya benar-benar menggambarkan terjadinya proses penawaran dan persetujuan yang efektif dan mengikuti koridor hukum yang berlaku.

Persyaratan

Perjanjian yang sah juga harus memenuhi aspek persyaratan yang telah disepakati oleh pihak-pihak terkait, terutama yang menyangkut mengenai masalah pembayaran, penyerahan barang, dan pengembalian barang. Di dalam aspek pembayaran tentu saja tidak hanya faktor harga terbentuk yang menjadi pokok kesepakatan, tetapi hal-hal seperti cara/jenis pembayaran dan termin pembayaran juga harus disepakati. Demikian pula masalah penalti seandainya konsumen tidak dapat memenuhi perjanjian pembayaran yang telah disepakati. Hal-hal yang menyangkut mengenai penyerahan barang misalnya adalah bagaimana produk yang menjadi obyek jual beli yang berada di dalam posesi penjual dapat secara sah tiba atau sampai dan menjadi hak pembeli.

Faktor-faktor seperti distribusi, serah terima, dan lain sebagainya menjadi pokok kesepakatan yang harus dibicarakan bersama dan dituliskan dalam pokok-pokok perjanjian. Sementara masalah pengembalian barang merupakan suatu aspek mengenai hak dan kewajiban kedua belah pihak jika terjadi situasi yang menyebabkan sebuah produk yang telah dibeli harus dikembalikan karena adanya berbagai macam unsur seperti: barang rusak ketika diterima, barang tidak memenuhi spesifikasi yang dijanjikan, barang tidak sama dengan yang dipesan, dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal ini, biasanya pembeli sebagai konsumen dapat melakukan pemilihan terhadap syarat-syarat yang diinginkan (tentu saja sesuai dengan kondisi dan kompensasi yang disepakati) untuk dipenuhi oleh pihak penjual (misalnya cara mengirimkan barang dan ongkos kirimnya) yang dilakukan melalui internet (aplikasi pada situs perusahaan terkait).

Jenis Transaksi

Dalam sistem hukum yang biasa dianut oleh masing-masing negara, tidak semua jenis persengketaan yang terjadi dapat begitu saja diselesaikan dengan mempergunakan buktibukti perdagangan yang terjadi di internet. Beberapa jenis perjanjian belum atau tidak dapat dilakukan di dunia maya karena adanya persyaratan mutlak yang harus dipenuhi seperti: adanya perjanjian tertulis dan adanya tanda tangan asli dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Contohnya adalah: perjanjian perkawinan dan perceraian, jual beli tanah, lelang rumah, jual beli surat hutang, dan lain-lain.

Dengan kata lain, jika transaksi dengan jenis di atas ingin dilakukan melalui internet, harus dicari berbagai jalan pemecahan agar kedua persyaratan utama tersebut dapat dipenuhi. Katakanlah dengan melakukan transaksi paralel, dimana dokumen fisik berisi tulisan dan tanda tangan pihak yang bertransaksi dikirimkan melalui pos setelah proses persetujuan awal melalui internet telah selesai dilakukan. Namun, pengadilan di beberapa negara telah pula memiliki perangkat hukum untuk mengatasi permasalah ini, yaitu dengan memperbolehkannya menggunakan file komputer sebagai representasi dokumen tertulis dan digital signature untuk merepresentasikan seorang individu. Tentu saja untuk menuju kepada kesepakatan tersebut, banyak sekali faktor-faktor yang harus terpenuhi terlebih dahulu, seperti masalah autentifikasi, validitas, dan keamanan transaksi.

Kinerja Perjanjian dan Persengketaan

Setelah perjanjian (kontrak) jual beli disepakati dan “ditandatangani” oleh pihak-pihak terkait, maka adalah kewajiban dari masing-masing mereka untuk melaksanakan butir butir kontrak yang disepakati. Persengkataan dapat terjadi jika adanya suatu kasus dimana salah satu atau kedua pihak yang berjanji tidak memenuhi satu atau lebih butirbutir perjanjian yang telah dibuat. Jika situasi ini terjadi, maka akan ada tindakantindakan hukum yang terjadi sesuai dengan jenis kasus dan aturan yang berlaku. Tindakan-tindakan tersebut dapat berupa:

  • Dikembalikannya produk oleh pihak pembeli ke pihak penjual disertai dengan
  • pengembalian uang pembayaran;
  • Dipenuhinya hak-hak pembeli oleh pihak penjual berdasarkan kontrak jual beli
  • yang disepakati (penalti);
  • Diserahkannya persoalan ke pihak ketiga yang secara hukum memiliki
  • wewenang untuk menangani permasalahan jual beli yang ada (misalnya pihak
  • asuransi atau debt collector);
  • Dibatalkannya kontrak jual beli dan dikembalikannya semua hak-hak yang
  • menjadi milik pembeli dan penjual;
  • Diajukannya kasus persengketaan ke meja hijau untuk selanjutnya diperkarakan
  • dan dicari jalan pemecahannya menurut aturan hukum yang berlaku;
  • dan lain sebagainya. 


Intinya di sini adalah bahwa kedua belah pihak (pembeli dan penjual) harus selalu mengadakan komunikasi dan interaksi walaupun proses jual beli secara hukum telah terjadi, karena adanya potensi salah satu pihak akan melakukan pelanggaran di kemudian hari yang akan bermuara pada kasus persengketaan. Di dalam internet hal ini sangat mudah dilakukan, karena komunikasi secara efektif dan efisien dapat dilakukan melalui fasilitas semacam email, chatting, tele-conference, dan lain sebagainya.

Bukti Pengadilan

Hak dan kewajiban tidak ada artinya jika tidak dilindungi oleh hukum yang dapat menindak mereka yang mengingkarinya. Sebuah dokumen untuk dapat diajukan ke depan pengadilan harus mengikuti tiga aturan utama:
  1. The rule of authentification;
  2. Hearsay rule; dan
  3. The Best Evidence rule.

Pengadilan modern telah dapat mengadaptasi ketiga jenis aturan ini di dalam sistem ecommerce. Masalah autentifikasi misalnya telah dapat terpecahkan dengan memasukkan unsur-unsur origin dan accuracy of storage jika email ingin dijadikan sebagai barang bukti (sistem email telah diaudit secara teknis untuk membuktikan bahwa hanya orang tertentu yang dapat memiliki email dengan alamat tertentu, dan tidak ada orang lain yang dapat mengubah isi email ataupun mengirimkannya selain yang bersangkutan). Termasuk pula untuk proses autentifikasi dokumen digital yang telah dapat diimplementasikan dengan konsep digital signature. Aspek hearsay yang dimaksud adalah adanya pernyataan-pernyataan di luar pengadilan yang dapat diajukan sebagai bukti.

Di dalam dunia maya, hal-hal semacam email, chatting, dan tele-conference dapat menjadi sumber potensi entiti yang dapat dijadikan bukti. Namun tentu saja pengadilan harus yakin bahwa berbagai bukti tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Faktor best-evidence berpegang pada hirarki jenis bukti yang dapat dipergunakan di pengadilan untuk meyakinkan pihak-pihak terkait mengenai suatu hal, mulai dari dokumen tertulis, rekaman pembicaraan, video, foto, dan lain sebagainya. Hal-hal semacam tersebut di atas selain secara mudah telah dapat didigitalisasi oleh komputer, dapat pula dimanipulasi tanpa susah payah; sehubungan dengan hal ini, pengadilan biasanya berpegang pada prinsip originalitas (mencari bukti yang asli).

Demikianlah beberapa aspek utama yang harus menjadi bahan pertimbangan bagi mereka yang ingin terlibat di dalam dunia e-commerce. Tentu saja masih banyak aspek-aspek lain yang telah pula merebak menjadi isu yang hangat untuk didiskusikan, seperti: notice and conspicuousness, consumer issues, personal jurstiction, negotiability, intellectual property, illegal bargains, criminal law, dan lain sebagainya. Inti dari seluruh isu ini adalah bagaimana menciptakan suatu sistem dan koridor hukum yang dapat menjamin terciptanya suatu lingkungan sistem e-commerce yang kondusif, sehingga selain menjunjung tinggi nilai keadilan, dapat pula secara tidak langsung meningkatkan kualitas kehidupan manusia.

Sekian artikel tentang Aspek Dasar Hukum pada Transaksi e-Commerce di Indonesia dan Dunia. Semoga bermanfaat.

Daftar Pustaka
  • Sandiwarno Sulis, Konsep Portal dan Manajemen Konten, modul Universitas Mercu Buana 2013
  • Koleksi Tulisan dan Pemikiran E-Commerce Kiat dan Strategi Bisnis di Dunia Maya, Dr. Ir. Richardus Eko Indrajit, M.Sc.,MBA, Elex Media Komputindo
  • Cyber crime & Law (http://yurindra.wordpress.com/cyber-crime-law/)
Nikita Dini
Nikita Dini Blogger, Internet Marketer, Web Designer