Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian, Kostruksi, dan Aplikasi Simbol-Simbol Komunikasi

Pengertian, Kostruksi, dan Aplikasi Simbol-Simbol Komunikasi - Mulyana (2001:77) menjelaskan, bahwa manusia mahluk yang sangat unik karena mereka memiliki kemampuan memanupulasi simbol-simbol berdasarkan kesadaran. Simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respons manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya dalam pengertian stimulasi fisik dari alat-alat inderanya. Makna suatu simbol bukanlah pertama tama ciri-ciri fisiknya, namun apa yang dapat orang lakukan mengenai simbol tersebut.

Kehidupan manusia tidak terlepas dari penggunaan simbol-simbol. Cassier (1987:41), mengatakan bahwa manusia adalah animal symbolicum. Pemikiran simbolis dan tingkah laku simbolis merupakan ciri dan betul-betul khas manusiawi dan bahwa seluruh kemajuan kebudayaan manusia mendasarkan diri pada kondisi-kondisi itu, tidaklah dapat ditolak. Oleh karena itu, Langer ( dalam Mulyana,2000:83) berkesimpulan bahwa salah satu kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan simbol.

Tubb dan Moss (1996:72) mendefinisikan simbol sebagai sesuatu yang digunakan untuk atau dipandang sebagai wakil sesuatu yang lainnya. Dan Nimmo (1982:11) mengatakan bahwa manusia dikatakan sebagai mahluk simbolik, karena kehidupan manusia tidak terlepas dari simbol-simbol atau tanda-tanda, dan tanda atau simbol itu sendiri mengandung berbagai makna, sementara makna yang terkandung didalam tanda atau simbol itu tergantung kepada interpretasi seseorang, sebab manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna sesuatu bagi mereka.

Eratnya kaitan pemikiran dan aktivitas kehidupan manusia dengan simbol-simbol, karena kehidupan manusia salah satunya berada dalam lingkungan simbolik. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kuntowijiyo (1987:66), bahwa manusia hidup ditengah tengah tiga lingkungan, yaitu lingkungan material, lingkungan sosial dan lingkungan simbolik. Lingkungan material bukanlah ekosistem atau tempat ke tiga lingkungan itu berkait, tetapi lingkungan buatan manusia, seperti rumah, jembatan dan peralatan peralatan. Lingkungan sosial adalah organisasi, stratifikasi, soialisasi dan sebagainya. Lingkungan simbolik adalah segala sesuatu yang meliputi makna dan komunikasi, seperti bahasa, nyanyian, seni, upacara, tingkah laku, benda–benda, konsep-konsep dan sebagainya.

Pengertian, Kostruksi, dan Aplikasi Simbol-Simbol Komunikasi_
image source: collaborationsolution.wordpress.com
baca juga: Audience dan Pengaruhnya terhadap Media Massa

Simbol mempunyai tiga sifat, yaitu arbiter (mana suka atau selalu berubah- ubah), bermakna ganda dan abstrak (Wood, 1998:74). Kemudian Mulyana (2000:85-98) mengatakan bahwa simbol mempunyai beberapa sifat, yaitu 1) simbol bersifat mana suka atau sewenang-wenang, 2) simbol pada dasarnya tidak mempunyai makna, tapi individu memberikan makna pada simbol, 3) simbol itu bervariasi.
  1. Simbol bersifat mana suka dan sewenang-wenang
Simbol bersifat mana suka maksudnya, bahwa simbol tidak selalu tetap, tetapi bergantung pada konteks yang dibicarakan. Demikian juga artinya, bisa berubah sesuai dengan perkembangan zaman (Wood, 1998:74). Apa saja yang bisa dijadikan simbol, bergantung pada kesepakatan bersama. Kata-kata lisan atau tulisan, isyarat anggota tubuh, makanan dan cara makan, tempat tinggal, jabatan (pekerjaan), olah raga, hobi, peristiwa, hewan, tumbuhan, gedung, alat (artifak), angka, bunyi, waktu dan sebagainya. Semua itu bisa menjadi simbol (Mulyana, 2001:85).
  1. Simbol pada dasarnya tidak mempunyai makna, tapi individulah yang memberikan makna
Makna sebenarnya ada dalam individu, bukan terletak pada simbol itu sendiri. Kalaupun ada yang mengatakan bahwa kata-kata itu mendorong orang untuk memberi makna (yang telah disetujui bersama) terhadap kata-kata itu. ( Mulyana, 2001:88).
  1. Lambang itu bervariasi
Simbol itu bervariasi dari suatu budaya ke budaya lain, dari sutu tempat ke tempat lain, dari suatu konteks waktu ke konteks waktu yang lain. Begitu juga makna yang diberikan kepada simbol tersebut. (Mulyana, 2001:95).

Komunikasi dapat dikatakan efektif atau berhasil diantara penyebar pesan dengan penerima pesan, harus terdapat suatu pengertian yang sama mengenai isi pesan, biasanya isi suatu pesan disampaikan oleh penyebar melalui simbol yang berarti. Dan simbol itu dapat dikatakan titian atau jembatan untuk membawa pesan kepada penerima. R.A.S. Sastropoetro (1987:7-8) mengatakan bahwa lambang-lambang atau simbol-simbol yang dipergunakan antar mereka dapat terdiri atas bahasa baik lisan maupun tulisan, isyarat-isyarat, gambar-gambar dan tanda-tanda.

Penggunaan simbol komunikasi akan dilihat oleh sistem yang berada disekelilingnya, sebab nilai atau norma masyarakat sebuah standar dalam perlakuan anggota masyarakat yang berfungsi untuk menjaga kestabilan interaksi internal anggota masyarakat.

Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang diluar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Adapun Pierce dalam Sobur (2003;156) mengartikan simbol sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu diluar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (ditandakan pertanda) sifatnya konvensional.

Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya. Dalam arti demikian, kata misalnya, merupakan salah satu bentuk simbol karena hubungan kata dengan dunia acuannya ditentuka berdasarkan kaidah kebahasaannya. Kaidah kebahasaan itu secra artifisial dinyatakan ditentukan berdasarkan konvensi masyarakat pemakainya.

Simbol tidak dapat disikapi secara isolatif, terpisah dan hubungan asosiatifnya dengan simbol lainnya. Walaupun demikian berbeda dengan bunyi, simbol telah memiliki kisatuan bentuk dan makna. Berbeda pula dengan tanda (sign), simbol merupakan kata atau sesuatu bisa dianalogikan sebagai kata yang telah terkait dengan (1) penafsiran pemakai, (2) kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya, dan (3) kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakaiannya. Simbol yang ada berkaitan dengan ketiga butir tersebut disebut bentuk simbolik.

Dalam ”bahasa” komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non-verbal dan objek yang maknanya disepakati bersama. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antar manusia dan objek (baik nyata maupun abstrak) tanpa kehadiran manusia dan objek tersebut.

Selanjutnya Dan Nimmo (1989:11) mengatakan bahwa manusia dikatakan sebagai makhluk simbolik, karena terhadap manusia tidak terlepas dari simbol-simbol atau tanda-tanda, dan tanda atau simbol itu sendiri mengandung berbagai makna, sementara makna yang terkandung didalam tanda atau simbol itu tergantung kepada interpretasi seseorang, sebab manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna sesuatu itu bagi mereka. Sedangkan kebebasan untuk menciptakan simbol-simbol dengan nilai-nilai tertentu dan menciptakan simbol bagi simbol lainnya adalah paling penting bagi apa yang disebut proses simbolik.

Sobur (2003:157) menyatakan pula bahwa simbol terpengaruh oleh perasaan. Pada dasarnya simbol dapat dibedakan (Hartoko & Rahmanto dalam Sobur (2003:157) :
  1. simbol-simbol universal, berkaitan dengan arketipos, misalnya tidur sebagai lambang kematian
  2. simbol cultural yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu (misalnya keris dalam kebudayaan Jawa)
  3. simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks keseluruhan karya seorang pengarang.

Pengklasifikasian yang hampir sama dikemukakan Arthur Asa Berger dalam Sobur (2003:157) mengklasifikan simbol-simbol menjadi (1) konvensional, (2) aksidental (accidental), dan (3) universal. Simbol-simbol konvensional adalah kata-kata yang kita pelajari yang berdiri/ada untuk (menyebut/menggantikan) sesuatu. Sebagai kontrasnya, simbol aksidential sifatnya lebih individu, tertutup dan berhubungan dengan sejarah kehidupan seseorang. simbol unversal adalah sesuatu yang berakar dari pengalaman semua orang. upaya untuk memahami simbol seringkali rumit/kompleks, oleh karena bahwa logika di balik simbolisasi seringkali tidak sama dengan logika yang digunakan orang di dalam proses-proses pemikiran kesehariannya.

Simbol merupakan suatu unit yang paling mendasar dalam komunikasi (Bleke dan Haroldsen, 1987:177). Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lainnya berdasarkan kesepakatan sekelompok orang (Mulyana, 2000:84). Simbol adalah salah atu kategori tanda. Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga dipresentasikan oleh ikon dan indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan.

Susan K. Langer dalam Liliweri (2002:62) mengatakan ada dua cara membedakan simbol, yakni perbedaan formal dan perbedaan menurut ways of using symbols. Secara formal ada dua macam yaitu simbolisme presentasional dan simbol diskursif. Simbol presentasional adalah simbol yang cara pengungkapannya tidak memerlukan intelek, dengan spontan simbol menghadirkan apa yang dikandungnya. Inilah yang dijumpai dalam alam, lukisan, tarian dan sebagainya. Sedangkan simbol diskursif adalah simbol yang cara pengungkapannya menggunakan intelek, tidak spontan menyampaikan melainkan berurutan.

Tidak semua mahluk yang dapat memahami makna sebuah lambang atau simbol komunikasi (dalam interaksi), sebab lambang atau simbolik itu sendiri ialah semacam isyarat yang hanya dapat dipahami dengan suatu kemampuan R.A.S Sastropoetro (1987:7-8) dengan demikian, makna yang terkandung oleh suatu lambang atau simbol, khususnya lambang lambang atau simbol verbal, bukan terletak pada simbol itu sendiri. Layaknya suatu kata-kata bahwa manusia yang memberikan makna pada kata-kata, tergantung dari mereka memaknainya, manusialah yang memiliki makna-makna itu, bukan kata-kata, bukan kamus (D.Laurence Kenchaid dan Wilbrum Schramm, 1984:60).

Simbol atau lambang merupakan salah satu kategori tanda (sign). dalam wawasan Peirce, tanda (sign) terdiri atas ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol). Istilah simbol dalam pandangan Peirce dalam Istilah sehari-hari lazim disebut kata (word), nama (name), dan label (label). Adapun dalam pandangan Ogden dan Richards (Aminuddin dalam Sobur 2003:159), simbol memiliki hubungan asosiatif dengan gagasan atau referensi serta referen atau dunia acuan. Sebagaimana dalam wawasan Peirce, hubungan ketiga butir tersebut bersifat konvensional.

Hubungan antara simbol, thought of reference (pikiran dan referensi), dengan referent (acuan) dapat digambarkan melalui gambar semiotic triangle sebagai berikut :

Sumber, Aminuddin dan Sobur, (2003;159)_
Gambar 1.1 : Semiotic Triangle Ogden dan Richards
Sumber, Aminuddin dan Sobur, (2003;159)

Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa pikiran merupakan mediasi antara simbol dengan acuan. Atas dasar hasil pemikiran itu pula terbuahkan referensi : hasil penggambaran maupun konseptualisasi acuan simbolik. Referensi dengan demikian merupakan gambaran hubungan antara kebahasaan berupa kata/kata-kata maupun kalimat dengan dunia acuan yang membuahkan satuan pengertian tertentu.

Sehubungan dengan penafsiran, simbol dalam proses komunikasi akan berkaitan dengan pemaknaan. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Tindakan simbolis bermaksud untuk menyederhanakan sesuatu yang mempunyai makna; yang mana sesuatu yang mempunyai makna adalah apa yang dinyatakan oleh simbol tersebut harus dicari interpretasi terhadapnya. Hubungan manusia dengan realita yang diungkapkanya semata-mata bersandar atas kesepakatan bersama (masyarakat) dan budaya yang menggunakannya. Dengan kata lain, simbol bersifat arbiter.

Sebagai mahluk simbolik, manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dalam ungkapan-ungkapan simbolik. Dalam konteks kebudayaan tertentu, setiap orang memakai simbolik tanpa banyak berpikir, dengan spontan disebar dalam hubungannya dengan orang lain; dan makna serta maksudnya langsung dapat ditangkap (Tjetjep Rohendi, 1983:41), Leach (1976:9) mengemukakan bahwa komunikasi manusia dapat dicapai melalui sarana-sarana dari tindakan-tindakan ekspresif yang menggunakan simbol.

Lambang atau simbol yang ditimbulkan oleh manusia dapat dibedakan atas simbol yang bersifat verbal dan non verbal (Pateda,2001:48). Dalam rangka menjalin komunikasi yang berdasarkan pada keseragaman makna, manusia dalam interaksi sosial selalu berupaya mencocokan apa yang ada dalam pikirannya dengan apa yang sedang terjadi pada lingkungan, artinya manusia dalam proses komunikasi bukan sekedar penerima lambang atau simbol-simbol yang dilihat, didengar, atau yang dirabanya secara pasif, melainkan individu secara aktif mencoba mengadakan interpretasi terhadap lambang atau simbol tersebut.

Upaya interpretasi itu adalah bagian interaksi yang dapat dilakukan dalam rangka menjalin komunikasi yang efektif dan intensif antara peserta komunikasi, interaksi interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap pesan yang ada tetapi interaksi yang dilakukan terhadap dirinya sendiri, karena orang tidak hanya menyadari orang lain tetapi juga mampu menyadari dirinya sendiri (Poloma, 1994:260).

Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak signifikan simbol yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan merencanakan cara tindakan mereka.

Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa berkembang : orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan memperbaiki tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan perilaku orang lain.

Walau Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa memahami perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat khususnya. Justru dia lebih tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara gerak-isyarat (gesture) tertentu dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol yang mempunyai arti penting” ( a significant symbol”). Kata-kata dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik, bahasa tubuh (body langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang bermakna.

Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran, perasaan orang lain tersebut. Teori ini mirip dengan teori pertukaran sosial.

Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan merencanakan cara tindakan mereka.

Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa berkembang : orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan memperbaiki tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan perilaku orang lain.
Makna dan Pemaknaan (Meaning)

Upaya memahami makna, sesungguhnya merupakan salah satu masalah filsafat yang tertua dalam umur manusia. Konsep makna telah menarik perhatian disiplion komunikasi, psikologi, sosiologi, antropologi dan linguistik. Itu sebabnya, beberapa pakar komunikasi sering menyebut kata makna ketika mereka merumuskan definisi komunikasi. Tubbs dan Moss (1996:6), misalnya, menyatakan, ”komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih”. Adapun Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson (dalam Sobur, 2003:255) menyatakan bahwa, ”komunikasi adalah proses memahami dan berbagi makna”.

Langer dalam Morisson (2013:134), memandang makna sebagai suatu hubungan yang kompleks di antara simbol, objek, dan orang. Jadi makna terdiri atas aspek logis dan aspek psikologis. Aspek logis adalah hubungan antara simbol dan referennya (denotation), adapun aspek yang makna psikologis adalah hubungan antara simbol dan orang yang disebut konotasi.

Menurut catatan Sobur, ada tiga hal yang coba dijelaskan oleh para filsuf dan linguis sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna. Ketiga hal itu yakni : (1) menjelaskan makna kata secara alamiah, (2) mendeskripsikan kalimat secara alamiah, dan (3) menjelaskan makna dalam proses komunikatif. Dalam kaitan itu Kempson berpendapat untuk menjelaskan istilah makna harus dilihat dari segi : (1) kata, (2) kalimat, dan (3) apa yang dibutuhkan pembicara untuk berkomunikasi (dalam Sobur, 2003:256).

Selanjutnya Brown mendefinisikan makna sebagai kecenderungan (disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa. Tampaknya, kita perlu terlebih dahulu membedakan pemaknaan secara lebih tajam tentang istilah-istilah yang nyaris berimpit antara apa yang disebut (1) terjemahan atau translation, (2) tafsir atau interpretasi, (3) ekstrapolasi, dan (4) makna atau meaning. (Muhajir dalam Sobur, 2003:256)

Fisher mengemukakan, makna sebagai konsep komunikasi, mencakup lebih dari sekedar panafsiran atau pemahaman seorang individu saja. Makna selalu mencakup banyak pemahaman aspek-aspek pemahaman yang secara bersama dimiliki para komunikator. Akan tetapi, aspek kebersamaan itu tidaklah mesti menunjukkan bahwa semua peserta komunikasi memiliki pemahaman yang identik tentang lambang atau pikiran-pikiran (atau apapun), namun bahwa pemahaman tertentu menjadi milik bersama mereka semua. Tanpa adanya suatu derajat tentang apa yang disebut oleh Goyer (1970) kebersamaan makna (communality of meaning) yakni ”pemilikan pengalaman secara bersama”, komunikasi tidak akan terjadi. Shands (1967) lebih tegas lagi ketika ia menyatakan :”makna dari makna merupakan konsensus, dan makna lahir dalam proses sosial yang memungkinkan konsensus itu berkembang”.”proses sosial” itu dalam teori umum komunikasinya Shands adalah proses komunikasi itu sendiri. (dalam Fisher, 1986:347).

Makna dalam perspektif interaksional adalah ciptaan situasi sosial, dan premis setiap hubungan sosial apapun adalah seperangkat makna bersama lambang yang berarti tergantung pada situasi sosialnya. Situasi sosial hanya mencakup sejumlah makna yang terbatas untuk setiap lambang.

Mead menempatkan makna interaksional dalam apa yang ia namakan suatu percakapan isyarat (convesation of gesture) dimana suatu isyarat (gesture) berarti tindakan yang bermakna secara potensial. Jadi, makna terjadi sebagai suatu ”hubungan segitiga antara isyarat seseorang, respon kepada isyarat itu oleh orang kedua, dan penyelesaian tindakan sosial tertentu yang dimulai oleh isyarat orang yang pertama tadi”. Dalam pengertian ini, perspektif interaksional memungkinkan individu ”menggali” lingkungan mereka sendiri.

Komunikasi percakapan ditinjau dari suatu perspektif interaksional menurut Meerloo (1952), memberikan penekanan pada ”saling pengertian” dan ”empati timbal balik” sebagai sumber makna secara maksimal dimungkinkan melalui apa yang disebut Meerloo ”keinginan yang wajar untuk saling beridentifikasi, untuk memiliki pengertrian psikologis, dan saling mendekati dengan kasih sayang”.

Walaupun konsep abstrak yang dicakup dalam hampiran Meerloo itu lemah untuk dioperasionalisasikan, konsep itu menekankan hal bahwa pengambilan peran interaksional melintas diri individu dan memungkinkan setiap individual yang berkomunikasi untuk mencari secara aktif sudut pandang itu dengan cara itu, terjadilah makna kebersamaan.

Kata kuncinya adalah ”saling” ( tiap peserta melibatkan diri dalam pengambilan peran) dan identifikasi (mengambil kerangka rujukan orang lain). Konsep identifikasi interaksional masih tetap merupakan suatu konsep yang abstrak, yakni mengandung diri individual dan pada saat yang bersamaan diri itu memerankan diri orang lain.

Ruesch (1963) menyatakan hal yang sama pada waktu ia membedakan antara pengertian dan kesepakatan sebagai proses komunikatif. Menurut Ruesch, pengertian terjadi bilamana para komunikator menciptakan kaitan informasi (atau correspondence of information) tetapi kesepakatan menunjukkan pangucilan salah satu aspek atau topik komunikasi dan ”pengambilan keputusan dan keterlibatan diri” yang berhubungan dengan aspek tersebut. Jadi, para komunikator dapat saja mengerti satu sama lainnya selama komunikasi, akan tetapi dapat saja tidak sepakat. (dalam Fisher 1986:356-357)

Wendell Johnson memberikan beberapa implikasi bagi komunikasi antar manusia sebagai model proses makna, yaitu :
  • Makna Ada Dalam Diri Manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata itu tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula, makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan kita akan sangat berbeda dengan makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada dalam benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah. 
  • Makna Berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang kita gunakan 200 atau 300 tahun yang lalu. Tetapi makna dari kata-kata ini terus berubah, dan ini khususnya terjadi pada dimensi emosional dari makna. Bandingkanlah, misalnya, makna kata-kata berikut bertahun-tahun yang lalu dan sekarang, hubungan diluar nikah, obat, agama, hiburan, dan perkawinan (di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara berbeda pada saat ini dan di masa-masa yang lalu). 
  • Makna Membutuhkan Acuan. Walaupun tidak semua komunikasi mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunya ikaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang memadai. 
  • Penyingkatan yang Berlebihan akan Mengubah Makna. Berkaitan erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan diamati. 
  • Makna Tidak Terbatas Jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu, kebanyakan kata mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi. Bila ada keraguan, sebaiknya anda bertanya dan bukan membuat asumsi; ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing-masing pihak tertentu. 
  • Makna Dikomunikasikan Hanya Sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian (event) bersifat multi aspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita. Karenanya, pemahaman yang sebenarnya pertukaran makna secara sempurna- barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi tidak pernah tercapai. (dalam Sobur, 2003:258-259) 

Cara lain yang digunakan oleh para ahli untuk membahas lingkup makna yang lebih besar ini adalah dengan membedakan antara makna denotatif dengan makna konotatif. Makna denotatif pada dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (yang disebut sebagai makna referensial). Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa ditemukan dalam kamus. Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah pertanda (Berger dalam Sobur,2003:263).

Selanjutnya masih dalam catatan Sobur, Kridalaksana mendefenisikan denotasi sebagai ”makna kata atau kelompok kata atas penunjukan yang lugas pada sesuatu diluar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu sfifatnya objektif”. Sedangkan konotasi menurutnya diartikan sebagai ”aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca). Devito berpendapat jika denotasi sebuah kata adalah defenisi objektif kata tersebut, maka konotasi sebuah kata adalah makna subjektif atau emosianalnya (1997:125).

Sekian artikel tentang Pengertian, Kostruksi, dan Aplikasi Simbol-Simbol Komunikasi. Semoga bermanfaat.

DaftarPustaka
  • Bungin, Burhan, 2007, Sosiologi Komunikasi, Kencana Prenada Media, Jakarta.
  • Devito, Joseph A, 1977, Komunikasi Antar Manusia : Kuliah Dasar, Edisi V, Penterj, Agus Maulana, Profesional Books, Jakarta.
  • Fisher, B. Aubrey, 1986, Teori-Teori Komunikasi, Penterj, Soejono Trimo, Remaja Karya, Bandung
  • Kincaid, D. Lawrence & Wilbur Scramm. 1987. Asas-Asas Komunikasi Antar Manusia, Penterj Agus Stiadi, LP3ES-East west Communication Institute, Jakarta
  • Sobur, Alex, 2003, Semiotika Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung
  • Stephenson, Howard, 1982, Handbook of communications, Book Company, Inc, Toranto
Nikita Dini
Nikita Dini Blogger, Internet Marketer, Web Designer